MUHAMMADIYAH
DAN GERAKAN ISLAM
TRANSNASIONAL
Muktamar Pemikiran Islam di Unmuh Malang 11-13 Pebruari lalu memiliki makna penting sebagai media menyatukan dua kecenderungan pemikiran di Muhammadiyah. Dalam sebuah tulisannya di Kompas Jatim, Abd Siddiq Notonegoro menggambarkan kegiatan tersebut sebagai media mengharmoniskan dua elemen di tubuh ormas itu. Siddiq menulis, penggambaran terjadinya pengkutuban di Muhammadiyah oleh beberapa pihak sebagai sebuah ekspresi rasa sakit hati orang luar terhadap Muhammadiyah. Secara jelas Siddiq menuding kelompok Islam yang berideologi transnasional sebagai kelompok sakit hati yang berkeinginan merongrong ormas tua itu.
Gerakan transnasional dipahami sebagai kelompok keagamaan yang memiliki jaringan lintas nasional. Kelompok ini datang ke suatu negara dengan membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari negeri seberang (Timur Tengah) yang dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dulu eksis. Beberapa gerakan Islam yang dianggap transnasional adalah: Al-Ikhwan Al-Muslimun (atau sering disebut gerakan Tarbiyah) dari Mesir, Hizbut Tahrir dari Lebanon, Jihadi dari Afghanistan, Salafi (Arab Saudi), Syiah (Iran/Irak) dan Jamaah Tabligh (India) (Reform Review, vol 1, 2007).
Keenam gerakan tersebut saat ini sudah ada di Indonesia, meski tidak semuanya mampu menancapkan pahamnya secara luas. Dari keenamnya, mungkin hanya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimun yang memiliki pengaruh cukup luas di masyarakat. Ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas mereka yang seringkali melibatkan banyak massa dan kemampuan mereka melebarkan sayap gerakannya dalam berbagai lini kehidupan, terutama pendidikan dan lembaga amil zakat. Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai sayap politik gerakan Tarbiyah di Indonesia, dalam waktu relatif singkat mampu memperoleh dukungan cukup besar dalam pemilu 2004 lalu.
Perkembangan yag begitu cepat dan luas itu tentu saja menimbulkan sejumlah gesekan dengan beberapa gerakan Islam yang lebih dulu ada. Ini sesungguhnya kenyataan yang wajar dan biasa mengingat gerakan-gerakan itu sama-sama memperebutkan sepiring kue bernama umat Islam Indonesia.
Pada titik ini berlaku hukum ‘pasar bebas gerakan dakwah’ di mana sang pemenang ditentukan oleh kemampuannya menarik dukungan dari para pembeli. Semua gerakan memiliki posisi sama-setara tanpa ada satu dua gerakan yang boleh memiliki hak istimewa dalam pasar dakwah. Hukum pasar bebas tersebut seharusnya sudah dipahami para fungsionaris gerakan-gerakan tersebut sejak awal.
Kreativitas mutlak diperlukan dalam kondisi persaingan bebas seperti itu.
Ketidakmampuan menciptakan sesuatu yang baru akan memposisikan suatu gerakan dakwah sebagai ‘pecundang’, tanpa perlu melihat lama-barunya gerakan itu. Para fungsionaris gerakan yang kalah bersaing akan lebih arif jika melakukan instrospeksi diri dan tidak bersikap reaktif dengan mengkambing-hitamkan gerakan lain, atau menjadikan gerakan yang menang sebagai virus yang menggerogoti gerakannya. Sikap reaktif justru akan merugikan dirinya sendiri dan, tentu saja, menjadi ekspresi kekerdilan jiwa para fungsionarisnya.
Reaktif
Ketakutan pada gerakan Islam model baru seperti yang diekspresikan Siddiq di atas sebenarnya sangat aneh dan membingungkan. Siddiq tampaknya tidak atau belum memahami perubahan yang sedang terjadi dalam ranah dakwah di negeri ini saat ini. Pola pikir yang menganggap gerakan Islam model baru sebagai ancaman sesungguhnya bagian dari pola pikir lama yang sudah seharusnya dilepaskan dari otak anak muda kayak Siddiq. Siddiq seharusnya bisa mengqiaskan persaingan gerakan dakwah saat ini dengan persaingan partai-partai memperebutkan konstituen. Ada yang kalah, ada pula yang menang. Ada yang bermitra dengan partai lain (koalisi), ada pula yang berdiri sendiri.
Siddiq bukan satu-satunya fungsionaris yang terserang virus ketakutan pada kebebasan. Barisan penyandang penyakit ini berderet panjang di belakang Siddiq. Contoh barisan ini adalah tulisan seorang dokter yang menyebut gerakan Tarbiyah sebagai “virus” dalam sebuah artikelnya di Majalah Matan yang diterbitkan PW Muhammadiyah Jatim beberapa bulan lalu.
Contoh semacam itu sesungguhnya amat sangat banyak di Matan atau Suara Muhammadiyah, dan semuanya bermuara pada anggapan bahwa gerakan Islam transnasional sebagai ‘virus’ yang menggerogoti potensi Muhammadiyah. Biasanya penulisnya menunjukkan ‘fakta-fakta’ penggerogotan itu dengan banyaknya aset Muhammadiyah yang berpindah tangan, baik asset material ataupun SDM. Matan edisi Oktober 2006 memuat gambar sebuah masjid Muhammadiyah yang diakuisisi gerakan lain dan memuat artikel tentang beberapa aktivisnya yang lompat pagar ke gerakan tersebut.
Bahkan, ketika hidayatullah.com menurunkan berita kepergian seorang pimpinan puncak PW Muhammadiyah Jatim ke Israel, dengan tergopoh-gopoh beberapa oknum PW Muhammadiyah Jatim menganggap Hidayatullah tengah menyerang Muhammadiyah. Padahal, pemberitaan itu tidak lebih dari sebuah upaya al-amru bi al-ma’ruf wa an-nahyu 'an al-munkar dan pimpinan puncak itu juga telah diberi space oleh Hidayatullah untuk melakukan klarifikasi.
Kita tentu saja menyayangkan sikap reaktif seperti itu. Jika memang ada gerakan dakwah yang mengakuisisi assetnya, sudah seharusnya dilakukan proses penyelesaian yang mengedepankan semangat perdamaian dan ukhuwah Islamiyah. Atau jika tetap tidak bisa, jalur hukum sangat pantas untuk ditempuh. Inilah jalan tengah yang biasa digunakan orang-orang dewasa dan berpikiran terbuka. Jalan yang akan menghindarkan gerakan-gerakan Islam dari perang saudara.
Terkait dengan lompat pagar beberapa kader Muhammadiyah, alangkah baiknya jika kita mau melihat ke belakang, ke sejarah awal pertumbuhan Muhammadiyah. Dengan melihat sejarah itu kita akan mengetahui bahwa apa yang dirasakan beberapa fungsionaris itu sesungguhnya juga terjadi ketika Muhammadiyah muncul di negeri ini. Sejarah mencatat, banyak orang tua (kaum tua) yang merasa kecewa bahkan sakit hati ketika anak-anak mereka (kaum muda) tiba-tiba lompat pagar dengan mengembangkan pola pemikiran keagamaan baru yag dibawa gerakan Muhammadiyah yang berbeda dengan pemahaman mereka selama ini.
Maka, apa yang terjadi pada Muhammadiyah saat ini sesungguhnya hanyalah pengulangan atas apa yang pernah terjadi pada orang-orang tua dulu ketika Muhammadiyah lahir.
Musuh Bersama
Selain itu, sebenarnya ada susuatu yang membingungkan dengan peristilahan ideologi Islam transnasional, apalagi bila dihadapkan dengan Muhammadiyah. Pasalnya, sebagai sebuah gerakan, sumber ideologi keagamaan Muhammadiyah ternyata juga bersumber dari gerakan-gerakan Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu.
Dalam sebuah diskusi di PW Muhammadiyah Jatim Prof Syafiq Mughni mengungkapkan, Muhammadiyah mengambil paham gerakannya dari gerakan puritanisme-salafisme model Wahabisme di Arab Saudi dan reformisme-modernisme model Abduhisme di Mesir. Dengan demikian, bukankah Muhammadiyah juga termasuk gerakan Islam transnasional mengingat saat itu (akhir abad 19/awal abad 20) kedua paham tersebut bergema melampaui batasan territorial seperti gema gerakan Islam model Hizbut Tahrir, Salafi, atau Ikhwanul Muslimun saat ini.
Jika kita menggunakan analisis Charles Kurzman (Kurzman, Liberal Islam: a source book, hal 3-8) tentang tiga pola gerakan Islam, akan diketahui bahwa kedua corak yang digunakan Muhammadiyah tersebut memiliki satu musuh bersama, yaitu Islam costumary (Islam tradisional) yang banyak mengadopsi unsur-unsur lokal dalam praktik keberagamaannya. Kedua model itu (Islam modern dan revivalis/puritanis) awalnya bersatu menghadapi Islam tradisional, namun kemudian Islam modern membedakan dirinya dari Islam revivalis.
Dalam konteks ini, corak Islam revivalis dan reformis bersatu dalam gerakan Muhammadiyah yang mencoba memperbaharui pola keberagamaan penduduk nusantara yang tradisionalis (yang kemudian hari membentuk front bernama Nahdlatul Ulama-NU). Tetapi seiring perkembangan zaman dan perubahan pola pikir, Islam tradisionalis yang semula menjadi ‘musuh bersama’ kini berubah menjadi mitra Muhammadiyah. Kesana kemari pimpinan kedua gerakan itu bergandengan tangan menyerukan perdamaian.
Persatuan antara Islam revivalis dan modernis atas dasar keberadaan musuh bersama itu tentu saja turut pudar seiring dengan perubahan relasi Muhammadiyah dengan gerakan Islam tradisionalis dan melahirkan dua kutub pemikiran dalam Muhammadiyah berdasar benih pemikiran awal keduanya. Dalam hal ini, pergesekan JIMM dengan Majlis Tabligh adalah cermin pengkutuban itu.
Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Muhammadiyah. Berbagai upaya penyatuan kembali kedua corak itu dilakukan. Nah, saat upaya ini sedang berlangsung, tiba-tiba beberapa gerakan Islam transnasional yang sedang mengalami puncak kegairahan berdakwah melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh Muhammadiyah. Dengan sedikit dramatisasi, kesalahan itu dipoles sedemikian rupa menjadi hantu luar yang mengancam Muhammadiyah dan dijadikan sebagai musuh bersama untuk mengkonsolidasikan kutub-kutub dalam Muhammadiyah.
Apakah upaya ini akan berhasil? Kita lihat saja kelanjutan kisah itu. Namun yang pasti, persatuan berdasar kesamaan musuh (common enemy)Allahu a’lam. biasanya rapuh dan tidak berlangsung lama.